Kampung Halaman, Takalar Bersahaja


                                                                        
Suasana kampung halaman tak ubahnya dengan kampung-kampung lain,  hamparan sawah dan aliran sungai dan gunung dari kejauhan terlihat asri dan mempesona. Penduduk kampung kebanyakan bernata pencaharian dengan bertani,  nampaknya pekerjaan ini sudah menjadi turun temurun dari nenek moyang. Hanya sebagian kecil yang memiliki pekerjaan sebagai pegawai, apalagi sebagai TNI atau Polri hanya di hitung jari, serta sebagian memilih merantau di negeri orang, cwalaupun pada dasarnya,  penduduk di kampung kami bukan masyarakat perantau. Kalaupun ada sebagian kecil melakukan perantauan ke negeri orang, faktornya bisa karena rasa malu telah melakukan hal-hal yang tidak pantas, hijra karena pekerjaan,  atau migrasi karena perkawinan, atau hanya ikut-ikutan. 

Tapi kalau hanya himpitan ekonomi atau susahnya pekerjaan, masyarakat tidak akan meninggalkan kampung halamannya.  Dalam istilah makassar " kuntungku mate tangnganre,  lakapala-pala di borikna tau maraenga" (artinya kurang lebih "lebih baik mati kelaparan,  dari pada jadi peminta-minta di negeri orang". Jadi secara kultural, masyarakat kampung ini tidak dilahirkan untuk menjadi orang perantau. Falsafah ini terus menerus menjadi simbol sosial di masyarakat kampung tercinta. Sehingga bagi kami, ketika dijumpai ada warga kampung tercinta ini di negeri lain,  maka sangat mudah menebak faktor penyebabnya,  apakah karena perkawinan,  pekerjaan, syiri'(prilaku tak pantas) atau karena ikut-ikutan saja.

Faktanya,  bisa dihitung jari warga kampung tercinta bahkan masyarakat Kab. Takalar secara umum menjadi perantau di negeri orang. Mungkin ada kampung lain atau Kabupaten/Kota lain yang sama dengan kami. Namun,  secara umum,  tidak bakalan dijumpai masyarakat Takalar lebih dari lima menjadi penghuni di negeri orang. Falsafah di atas telah menjadi darah daging masyarakat Takalar,  lebih khusus di kampung tercinta. Cinta kampung halaman tak pernah kekang di makan zaman,  walaupun dengan kondisi kampung yang serba terbatas,  tapi suasana kehidupan masyarakat tak pernah tergantikan dengan suasana hiruk pikuk kota sebuah negeri.


Menarik untuk ditelusuri keadaan asri dan nayaman kampung tercinta dengan dihiasi petakan-petakan sawah yang hijau ketika musim tanam tiba. Di pagi hari yang cerah, hampir seluruh masyarakat kampung tercinta berbondong-bondong keluar dari rumahnya menelusuri pematang-pematang sawah yang berlumpur. Cangkul dan alat bajak sawah berada di bahu mereka dan parang panjang di selibkan di pinggang menjadi perhiasan yang paling indah. Kebiasaan yang kami saksikan, disepanjang perjalanan kenpetakan sawah masing-masing tidak terlepas ateriakan-teriakan saling bersahutan seperti irama musik yang sangat menyejukkan hati. Terikan itu adalah sapaan mereka yang memiliki nilai spirit untuk menyelesaikan pekerjaan saat itu. Sebagian lagi terlihat berjalan beriringan suami,  istri dan anak bersenda guarau menikmati perjalanan, seolah ingin berkata bahwa inilah hidup kita,  inilah pencaharian kita,  inilah hidup-mati kita,  inilah pencaharian untuk membiayai anak-anak sekolah,  marilah bersemangat dan pantang putus asah. Inilah makna yang dapat saya tangkap dari prilaku sosial di kampung teecinta.

Kunjungi juga : Tempat Kelahiranku, Kel. Mattompodalle Kec. Polut Kab. Takalar

Dari sisi daya dukung alam untuk pertanian sangat menjanjikan dengan luasan lahan yang sangat memadai. Hanya saja produktivitas samapi sekarang ini masih sangat rendah.  Pemanfaatan lahan sebagain besar ditanami hanya satu kali dalam setahun. Oleh karena itu,  kedepan hendaknya kaum tani berpikir untuk menintensipkan pemanfaatan lahannya agar lebih produktif lagi.  Walaupun demikian halnya,  kebutuhan konsumsi bagi petani masih mencukupi dalam setahun tersebut.  Pengolahan lahan pertanian masih terbatas pada pemenuhan konsumsi petani,  orientasi bisnis belum terpikirkan oleh masyarakat,  sehingga tingkat kesejahteraan petani masih sangat rendah. Kendala utama yang dihadapi petani saat ini adalah pengairan.  Pengairan dikampung tercinta diharapkan kedepannya dapat berfungsi lebih optimal dalam mendukung produksi petani.  Persawahan masih termasuk lahan tadah hujan,  sehingga selesai musim penghujan,  maka lahan-lahan tersebut menjadi kering dan tidak bisa termanfaatkan lagi.  Tetapi ketika pengairan dapat difungsikan dengan maksimal,  maka pemanfaatan lahan akan lebih baik dan kesejahetaraan petani juga lebih baik lagi,  sebab petani bukan saja menanam padi satu kali dalam setahun tapi bisa 2-3 kali bahkan dapat diselingi dengan tanaman musiamn lainnya yang tentunya jika berhasil dapat mendorong peningkatan taraf hidup petani yang lebih sejahtera.


Daya dukung lainnya adalah perkebunan tebu,  yang telah berlangsung hampir 20 tahunan, tetapi belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani,  karena yang terlihat adalah lahan-lahan petani yang potensial untuk perkebunan ini,  dari pihak perusahaan sebatas sewa lahan per tahun. Memang kalau dilihat keuntungan jangka pendek bagi petani sangat menggiurkan,  karena tanpa mengeluarkan tenaga, para petani dapat memperoleh "uang" dan eebagian besar petani ini merasa nyaman dengan hubungan kerja seperti ini tanpa mereka pikirkan jangka panjang.  Padahal masih jalan lain yang kedua belah pihak saling menguntungkan,  bahkan dapat memberikan keuntungan yang berlipat ganda kepada petani,  tapi karena perusahaan hanya berpikir untung tanpa peduli pemilik lahan memperoleh keuntungan atau kerugian. Cara yang lebih bijak adalah petani difungsikan sebagai plasma nutfa bagi perusahaan.  Lahan petani tidak dalam kuasa perusahaan,  tapi petani menjadi pemilik lahan,  pengelola lahan,  dan produksi tebunya dijual ke perusahan, lebih sederhanya adalah perusahaan bertindak sebagai bapak angkat bagi petani.

Kunjungi juga : Portal Resmi Kab. Takalar  

Kebutuhan petani disedikan oleh perusahaan dengan perjanjian pemotongan nilai jual produksi tebu para petani. Seandainya kontrak kerja ini berjalan,  maka yakinlah tidak butuh waktu yang lama, kehidupan para petani terjadi peningkatan yabg signifikan. Tapi apa yang hendak dikata,  keadaan yang terjadi adalah sebaliknya,  kehidupan petani begitu-begitu saja,  sementara perusahaan memperoleh keuntungan ysng tak bisa dihitung lagi.  Setelah perjalanan panjang ini,  kini masyakarat yang tinggal didekat pabrik mengalami ancaman baru akibat dampak limbah pabrik,  yang paling nyata kita lihat disana adalah pencemaran lingkungan, khususnya air minum. 


Keadaan Sumur-sumur sebelum pabrik ini ada, keadaan airnya sangat jernih dan tentunya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk segala kebutuhan, baik untuk mandi,  memasak, maupun mencuci. Tapi kini. semua sumur-sumur ditutup karena airnya sudah tidak layak lagi,  bahkan mengeluarkan bauh yang tidak sedap, bahkan terang jelas terlihat di sungai-sungai yang ada disekitan pabrik,  warna airnya hitam dan bau busuk yang di duga limbah pabrik langsung dibuang di sungai. Masyarakat tidak pernah menduga dampak-dampak ini,  dan sepertinya pihak perusahaan sudah tidak peduli lagi dengan keadaan ini dengan berpura-pura memberikan bantuan atau sembako setiap bulan Ramadhan, supaya masyarakat tidak mengeluhkan limbah ini.  

Sayangnya,  masyarakat benar-benar tutup mulut walaupun tersiksa sepanjang waktu. Bagaimana tidak,  bauh busuk limbah tersebut tak pernah berhenti bahkan semakin hari tambah banyak, jangankan tidur,  makanpun sebenarnya masyarakat sangat tersiksa dengan kondisi ini,  apalagi tenaga kerja perusahaan sebagian besar masyarakat yang berdomisi dekat pabrik.  Jadi lengkap sudah penderitaan ini tanpa bisa berbuat apa-apa, terima nasib sepanjang masa selama pabrik masih beroperasi. Mudah-mudahan pemerintah  sekarang dapat melihat kondisi ini, agar Takalar bersahaja dapat dinikmati lagi seperti masa dulu....wassalam, maaf Kakanda dan terima kasih.

Posting by. Zarif Oji

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tema-Tema Penting Pada Peringatan Asyura Nasional Tahun 1445 H/2023

Ilmuan Peringatkan Bahaya AI (Artificial Intellegence)

Menyikapi Perkembangan ChatGPT OpenAI